Nasehat Para Pendidik (1)



الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على نبينا محمد، وعلى آله وصحبه أجمعين، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأن محمدا عبده ورسوله، وبعد:
Inilah sebahagian washiyat yang saya washiyatkan pada diri saya dan kepada saudara saya dari kalangan para pendidik, dan saya meminta kepada Allah semoga kita bisa mengambil manfa`at dengannya.
Pertama : Mengikhlashkan niat karena Allah Ta`ala dalam mendidik anak anak didik mereka dan saudara saudara mereka dari kalangan penuntut `ilmu, dan mendidik mereka sesuai dengan apa yang diredhoi oleh Rabb mereka Jalla wa `Alaa, kemudian sabar dan mengharapkan ganjaran atas `amalan demikian dari Allah Subhaana wa Ta`ala, semata mata mengharapkan pahala dariNya, berkata sebahagian ahli `ilmu : “al Ikhlash ialah jangan kamu mencari atas `amalan engkau saksi selain Allah Ta`ala, tidak juga pemberi ganjaran selainNya, dan inilah sebenarnya haqiqat dari ad Din, serta miftah (kunci) da`wah para Rusul `Alaihimus Sholaatu was Sallaam, berfirman Allah Jalla Jalaaluhu :
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ (٥)
5. Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus[1595], dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.
[1595] Lurus berarti jauh dari syirik (mempersekutukan Allah) dan jauh dari kesesatan.
Dan Allah Ta`ala berkata :
قُلْ إِنَّنِي هَدَانِي رَبِّي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ دِينًا قِيَمًا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (١٦١)قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (١٦٢)لا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ (١٦٣)
161. Katakanlah: “Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus, dan Ibrahim itu bukanlah Termasuk orang-orang musyrik”.
162. Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.
163. tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. Al An`am (161-163).
Keikhlashan adalah merupakan syarat untuk diterimanya `amalan, sesungguhnya satu `amalan tidak akan diterima oleh Allah Ta`ala kecuali dengan dua syarat :
Pertama : Hendaklah `amalan tersebut zhohirnya cocok dengan apa yang disyari`atkan Allah Ta`ala dalam kitabNya, atau dijelaskan oleh RasulNya Shollallahu `alaihi wa Sallam, telah meriwayatkan al Bukhaari dan Muslim dishohih mereka berdua, hadist dari jalan `Aaisyah radhiallahu `anha, bahwa an Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam bersabda :
“من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد”.
“Barang siapa yang mengada ada (mengadakan satu bid`ah) dalam perintah Kami ini yang bukan bagian darinya maka dia tertolak”.[1]
Kedua : Hendaklah `amalan tersebut ikhlash semata mata liwajihillahi Ta`ala, al Imam al Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan satu hadist dari jalan `Umar bin al Khotthab radhiallahu `anhu bahwa an Nabiy Shollallahu `alaihi wa Sallam berkata :
“إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى”.
“Sesungguh seluruh `amalan tergantung dengan niat, dan sesungguhnya setiap manusia apa yang dia niatkan”.[2]
Berkata al Fudheil bin `Iyaadh : “`Amalan yang paling baik ialah `amalan yang paling ikhlash dan paling benar, kemudian beliau melanjutkan perkataannya; sesungguhnya satu `amalan apabila ikhlash dilakukan tapi tidak benar (tidak cocok dengan tuntunan Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam) tidak akan diterima oleh Allah Jalla Jalaaluhu, dan apabila benar tetapi tidak ikhlash tidak juga diterima, sampai `amalan itu betul betul ikhlash dan benar, al khoolish semata mata karena Allah, dan ash showab betul betul cocok di atas as Sunnah”.[3]
Diantara dalil dalil yang besar menunjukan tentang ikhash dimana seorang hamba mengamalkan satu `amalan yang sholih, kemudian dia tidak peduli dengan pantauan manusia atasnya, bahkan kalau dinisbahkan kepada selainnya akan mengembirakan dia demikian itu dikarenakan ilmunya bahwasanya dia dipelihara disisi Allah Ta`ala.
Dan dikatakan kepada Sahl at Tustariy : “Apa sesuatu yang sangat berat atas jiwa? Kata beliau : “al Ikhlash; karena tidak ada bagi jiwa tersebut bahagian- artinya dari bentuk keduniaan”.-
Kedua : Bertaqwa kepada Allah Ta`ala, dan selalu merasa diawasi olehNya baik ketika tidak nampak dan tidak nampak, sesungguhnya taqwa kepada Allah `Azza wa Jalla merupakan washiyat untuk orang orang terdahulu dan sekarang, Allah Ta`ala berfirman :
وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ وَإِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَكَانَ اللَّهُ غَنِيًّا حَمِيدًا (١٣١)
131. dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi, dan sungguh Kami telah bertakwalah kepada Allah. tetapi jika kamu kafir Maka (ketahuilah), Sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah[360] dan Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji. An Nisaa` (131).
[360] Maksudnya: kekafiran kamu itu tidak akan mendatangkan kemudharatan sedikitpun kepada Allah, karena Allah tidak berkehendak kepadamu.
Adalah an Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam kebanyakan washiyatnya untuk para shohabat adalah ketaqwaan kepada Allah Ta`ala, dalam hadist al `Irbaadh ibnu Saariyah bahwa an Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam bersabda :
“أوصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة”.
“Saya washiyatkan pada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, mendengarkan dan mentho`ati para pemimpin”.[4]
Berkata al Imam Tholq bin Habiib rahimahullahu Ta`ala : “Yang dikatakan at taqwa ialah kamu ber`amal untuk mentho`ati Allah dibawah bimbingan cahaya dari Allah, dan kamu mengharapkan ganjaran dari Allah, lalu kamu meninggalkan ma`shiyat kepada Allah takut akan `adzabNya Jalla Sya`nuhu”.[5]

[1] Al Bukhaariy (2697), Muslim (1718).
[2] Al Bukhaariy (1), Muslim (1718).
[3] “Madaarijus Saalikin”, (2/93), oleh al Imam Ibnu Qaiyyim al Jauziyyah.
[4] “Sunan Abi Daawud” (4607).
[5] “Siyaru A`laamin Nubalaa`” (

0 komentar: